Lanjutan kisah Winter Holiday Japan
Awalnya aku hanya memperhatikan bagaimana tatacara yang diperagakan olah Sadoo sensei. Teh tidak hanya dituangkan atau diminum, tapi terdapat seni dalam arti yang luas. Setiap gerakan dalam mempersiapkan teh dilakukan oleh penyaji dengan lambat. Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih, dan teh siap diseduh.
Baru hari ke-2 di Jepang aku diajak untuk mengikuti upacara minum teh. Akhirnya bisa ikut secara langsung juga dengan acara ini. Tentang upacara minum teh, aku belajar di rumah salah seorang teman Okaasan, Tema Sensei. (Sensei yaitu sebutan guru di Jepang). Jadi pukul 2 siang aku sampai di rumah beliau. Rumah yang unik ala rumah tradisonal Jepang. membuat aku sangat terpukau karena akhirnya bisa juga masuk ke rumah tradisonal di Jepang lengkap dengan pekarangan kecil yang cantik. Beliau kira-kira berusia 70an. Walau usia beliau sudah tua, tapi nenek-nenek di Jepang masih sangat bersemangat.
Sebelum memulai belajar tentang upacara minum teh, sebelumnya aku dipersilahkan untuk memakai sebuah kimono. Kimono merah punya beliau. Walau sebelumnya sudah pernah mengenakan kimono, dan bisa mengenakannya sendiri, tapi aku tetap bersemangat dan membiarkan Tema Sensei dan Sachiko mengenakan kimono untukku.
Upacara Minum Teh (Sadou)
Sadoo atau yang dikenal dengan “Upacara minum teh”, merupakan tradisi di Jepang yang sudah ada ratusan tahun yang lalu, yang merupakan ritual Jepang yang menyajikan teh untuk tamu. Katanya sih sejak zaman Edo kira-kira 400 tahun yang lalu. Konon dulu katanya upacara minum teh ini hanya dilakukan oleh kalangan samurai Jepang terhadap tamu-tamunya. Tapi saat ini telah menyentuh masayarakat umum Jepang dan sudah menjadi tradisi.
Tradisi sadoo memiliki banyak tata cara. Bahkan katanya sampai 300 cara. Wahhh. Aku awalnya sangat kaget, walau dah pernah dengar juga, Cuma saat mengalami sendiri, benar-benar jadi berpikir, kenapa buat minum teh aja bisa seribet ini????
Sachiko yang juga sudah sangat ahli dalam upacara minum teh, muridnya Tema sensei, membantuku dan mengajariku bagaimana tatakrama dan tatacara dalam kegiatan ini. Akhirnya aku menjadi tamu sekaligus murid dalam upacara ini.
Awalnya kami mulai dari tata cara masuk ke ruangan. Ketika udah dipersilahkan masuk, aku dan Sachiko membuka pintu perlahan. Masuknya gak jalan kayak masuk biasa, tapi kita masuk dengan bersimpuh, setelah masuk pintu di tutup kembali dengan tatacara menutup pintu yang benar. Kalau di Jepang kan pintunya pintu geser, jadi saat tutup pintu posisi masih bersimpuh nih ceritanya.
Setelah pintu ditutup, kami mulai jalan dengan menarik badan dengan tangan, karena posisi masih dalam keadaan bersimpuh. Lalu menuju alas duduk ala Jepang. Tapi sebelum menuju alas duduk, sebelumnya kami menuju altar (tokonoma) yang berisi lukisan (kakejiku),bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai musim dan status tamu yang di undang.
Di altar itu kami diminta untuk menikmati dan memberi apresiasi terhadap isi ruangan sebagai bentuk hormat terhdap pemilik rumah. Di altar terdapat lukisan dan bunga yang telah disediakan pemilik rumah. Setalah beberapa menit memperhatikan dan menikamati lukisan, kami kembali berjalan dengan ngesot sambil bersimpuh menuju alas duduk. *sedikit lucu yah kedengarannya dengan kata ngesot* hohohoh
Sementara itu di satu sudut ruangan, segala peralatan untuk minum teh juga tertata rapi, mulai dari perapian untuk merebus air (tungku), guci, bubuk teh dan sendoknya, pengocok, dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang. Selain itu, tersedia juga kue manis yang akan dibagikan kepada tamu sebelum meminum teh. Teh yang dipakai pada upacara minum teh umumnya, menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus, tetapi bisa juga menggunakan teh hijau jenis sencha.
Sementara itu, sebelum nimum teh, disajikan sebuah kue yang manis sekali kepada setiap tamu. Cara menyajikan dan mengambilnya pun ada aturan yang penuh sopan santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu, saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilahkan mengambilnya duluan antara tamu satu dan tamu berikutnya. Cukup ribet memang.
Kemudian juga ada cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkan di atas kertas, mengelap ujung sumpit, dan mengembalikannya juga menurut aturan tertentu. Aku kemudian memakan mochi, kue manis yang biasanya disajikan di musim dingin. Kue yang disajikan biasanya disesuaikan dengan musim. Untuk bulan Juni misalnya, adalah kue berbentuk bunga ajisai. Kue itu terbuat dari tepung ketan ditambah bahan sayuran, ditengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue ini dibuat manis untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.
Setelah makan kue, tuan rumah mulai menyiduk air yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam mangkuk yang sudah berisi bubuk teh. Dikocok-kocok hingga berbuih, lalu dihidangkan.
Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah memegang mangkuk dengan kedua tangan. Memutarnya dua kali di atas tangan kanan, meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilahkan. Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua tangan, memutar mangkuk dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di luar mangkuk, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi komentar tentang mangkuknya. Saat menyurup teh juga dilakukan dengan perlahan-lahan dan sekali teguk tiap tegukanya. Jangan sampai minum teh kayak orang kehausan yaa.
Bentuk mangkuk untuk minum teh juga disesuaikan dengan musim. Mangkuk yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan teh bertahan lebih lama. Mangkuk yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih cepat dingin. Dari pola hiasan di luar mangkuk bisa diketahui zaman pembuatannya.
Ketika upacara berlangsung tidak ada musik pengiring. Hanya bunyi angin menggesek dedaunan di luar, air menetes di pancuran, dan air mendidih di tungku kecil pojok ruangan. Suara alam, ditambah suara percakapan dengan tamu. Biasanya percakapan dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat sajian. Tamu lain semestinya mendengarkan saja percakapan seperti itu, tetapi saat ini terutama untuk tamu asing biasanya semua boleh bertanya.
Setelah semua diperagakan, aku pun langsung mencoba dan mempraktekan apa yang telah dilakukan tuan rumah sebelumnya. Walau sangat sulit, tapi aku akhirnya berhasil menghasilkan teh dengan buih yang banyak. Walau kegiatan ini sedikit membosankan dan bikin ngantuk, tapi aku sangat senang bisa mengetahui dan mengalami tradisi yang sangat terkenal di Jepang ini. J
Bersama babachan |
Akhirnya setelah beberapa saat ngobrol-ngobrol bersama Tema sensei, kamipun berfoto bersama. Tema Sensei juga sangat senang bisa mengobrol dan mengajariku tentang tatacara upacara minum teh. Beliau bahkan telah menganggap aku sebagai cucu dan akupun memanggil beliau dengan sebutan “baba” atau nenek di Jepang. J
Comments
Post a Comment